Selasa, 23 November 2010

Pesona Pantai Pulau Bangka

Sekelumit catatan perjalanan pas pulang kampung kemaren =)

Sejak tiket dibeli dan tahu bahwa 2 rekan dekat akan menyusul untuk berlibur di sana, pikiran saya langsung dipenuhi oleh keinginan untuk melihat sunrise di kampung halaman. Secara dulu-dulunya waktu tidak pernah mau (atau tidak sempat) untuk sengaja pergi ke pantai subuh-subuh sekedar untuk menikmati matahari terbit, dan secara pengalaman pertama saya menikmati sunrise adalah di Bali, maka kali ini rasa chauvinisme saya timbul: saya yakin sunrise di Bangka tidak kalah indahnya dengan sunrise di Bali atau tempat lain di muka bumi ini hehehehehehehe.....

Berangkat pulang hari Sabtu dan kedua rekan tiba hari Minggu sore, kami berencana untuk melihat sunrise di Pantai Rebo di hari Senin-nya. Sayang kami tiba terlambat, dan akhirnya kami putuskan untuk pergi ke pelabuhan ikan pantai Rebo.

Pelabuhan ikan di sini bukanlah pelabuhan dalam artian yang sebenarnya. Hanya teluk kecil tempat para nelayan sekitar kampung Rebo berlabuh dan bertemu dengan para pembeli ikan yang biasanya adalah para pedagang ikan. Para pedagang ini ada yang datang dengan motor yang sudah dilengkapi dengan keranjang di kiri dan kanannya atau dengan mobil bak terbuka dengan bak plastik yang sudah diisi dengan es batu. Karena biasa melayani para pedagang, banyak nelayan yang enggan melayani pembeli non pedagang yang biasanya hanya membeli dalam jumlah kecil untuk konsumsi sendiri (istilahnya hanya melayani pembeli grosir, bukan retail hehehehehehe......). Karena kebetulan Papa punya banyak kenalan di kalangan para nelayan ini, maka Mama bisa dengan leluasa memilih dan membeli ikan di sini, walaupun cuma sekedar sekilo atau dua kilo.

Pada saat kami berkunjung, penanggalan bulan berkisar sekitar tanggal 8 atau 9, di mana masih sekitar 7 atau 6 hari lagi menuju purnama. Biasanya saat purnama para nelayan memilih untuk tidak melaut dikarenakan air pasang dan ikan-ikan jadi lebih jarang. Dengan harga bensin yang membumbung ditambah kesulitan untuk membeli bensin itu sendiri (yang disebabkan karena pom bensin banyak dikuasai para preman yang membeli solar dalam jerigen atau dengan mobil yang kemudian dikuras untuk diisi ke jerigen untuk dijual kembali kepada para penambang timah yang membutuhkan solar tersebut untuk mesin genset dan mesin air yang digunakan dalam penambangan timah inkonvensional), para nelayan memilih untuk tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan lain ketimbang melaut tapi pulang dengan hasil pas-pasan atau kemungkinan merugi.

Kebetulan pula, saat kami ke sana masih berlangsung musim panen cumi (atau sotong dalam bahasa Bangka).

keranjang penuh cumi

Secara kami membeli langsung dari tangan nelayan begitu mereka tiba di pantai, kami beruntung bisa menyaksikan cumi yang masih putih alias masih hidup. Rupanya bintik-bintik merah itu baru timbul kalau si cumi sudah almarhum, dan selagi mereka meregang nyawa bintik-bintik merah itu akan berpendar-pendar sebelum akhirnya muncul secara permanen dan akan semakin merah seiring semakin lamanya waktu kematian (aih, koq malah menjurus seperti CSI yah ;p)

Dari sini bisa dipetik pelajaran untuk berbelanja cumi ke pasar, bahwa semakin merah cumi makin tidak segarlah dagingnya. Sedangkan dari sisi harga, jauh dari pasar yang sebenarnya dan pembelian dalam jumlah besar tidaklah membuat harga ikan-ikan ini menjadi jauh lebih murah ketimbang yang dijajakan di pasar atau oleh tukang ikan yang biasa muter-muter dengan motor. Tapi mengingat kualitas dan kesegaran ikan, plus jaminan bahwa ikan di sini tanpa formalin membuat perjalanan ke sini menjadi berharga.

Hari berikutnya, kami disibukkan dengan perjalanan jauh ke kabupaten Belinyu yang akhirnya menyita waktu kami seharian penuh (cerita perjalanan ke Belinyu akan diceritakan lain kali), akhirnya niat kami kesampaian di hari ketiga.

Berangkat dari rumah jam 5 lewat dan dengan perasaan dag dig dug apakah akan terlambat kembali seperti kemarin, kami tiba di pantai Rebo pukul 6, tepat sebelum mentari terbit di ufuk timur). Menyaksikan sang surya keluar dari peraduan dan perlahan-lahan beranjak naik merupakan suatu pengalaman yang luar biasa, memberikan suatu rasa haru dan syukur yang tidak terhingga atas anugrah Bos besar yang ada di atas sana ;p.

Pantai Rebo yang terletak di kampung Rebo, Desa Kenanga,kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka (buseeettttt... panjang tenan informasi-nya). Sebagai informasi tambahan, semenjak menjadi propinsi ke-33 dan terpisah dari propinsi induk Sumatra Selatan, Pulau Bangka yang sebelumnya hanya terdiri atas 1 kabupaten dan 1 kotamadya sekarang dibagi menjadi 4 kabupaten - Bangka dengan ibukota Sungailiat, Bangka Barat dengan ibu kota Muntok alias buntu, Bangka Tengah dengan ibukota Koba dan Bangka Selatan dengan ibukota Toboali) plus 1 Kotamadya Pangkalpinang yang beribukotakan kota Pangkalpinang.

Garis pantai yang membentang sepanjang puluhan kilometer dengan tekstur tanah yang berbukit-bukit membuat pantai ini lokasi yang tepat untuk menikmati sunrise. Bentangan bebatuan granit yang berdiri dalam berbagai posisi membuat kunjungan kami menjadi lebih menyenangkan karena bebatuan tersebut seakan menyediakan meja bahkan tempat tidur, tidak perlu kuatir barang-barang bawaan tercemar oleh pasir. Kami bahkan berpikir untuk kemping di antara bebatuan tersebut.

Satu dua hal yang tidak menyenangkan di pantai ini adalah adanya pecahan beling dari botol bekas minuman keras. Menurut keterangan penduduk setempat, memang lokasi ini sering dijadikan tempat orang pacaran atau pesta minuman keras (yang kemudian membuat kami berpikir kembali untuk kemping di sini hiii.....)

Hal lain yang mengganggu adalah mendapati kenyataan bahwa ekosistem bawah laut pantai Rebo ini sudah mulai rusak, digerogoti oleh penambangan timah oleh tambang apung.

Dari kejauhan tampang puluhan tambang apung mengambang di atas permukaan laut, dan begitu hari mulai beranjak siang, beberapa di antaranya mulai beroperasi dan mengeluarkan suara-suara mesin yang cukup mengganggu.

Menurut cerita Ibu dan beberapa penduduk yang sempat ditanyai, tambang apung ini beroperasi dengan cara menyedot pasir dari dasar laut dengan menggunakan mesin air kapasitas besar, baru kemudian pasir tersebut didulang untuk mendapatkan timahnya.

Kadang kala saya tidak habis pikir sendiri, timah bagaikan pisau bermata dua bagi penduduk di pulau Bangka. Di satu sisi itu menjadi berkah tersendiri dan memberikan kontribusi yang bisa dikatakan sangat besar dalam menggerakkan roda perekonomian di pulau Bangka. Ketika harga timah mencapai sekitar RP 80.000,- per kg, perekonomian sangat bergairah. Banyak penduduk luar pulau yang datang untuk mencoba peruntungan dengan ikut membuka tambang timah inkonvensional atau sekedar menjadi buruh harian di salah satu tambang tersebut.

para penambang timah

Maraknya perekonomian juga memberi dampak buruk, tingkat kriminalitas yang tinggi karena kesenjangan ekonomi yang terjadi dan pelacuran yang meningkat karena tingginya permintaan dari para pekerja tambang dari luar pulau. Hal ini diikuti pula oleh tingginya tingkat penyelundupan timah ke luar negeri karena sebagian besar pengusaha tambang tergiur harga jual di negeri tetangga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga beli yang ditawarkan oleh PT Timah sebagai satu-satunya perusahan yang boleh menjual timah batangan secara resmi ke pasar dunia.

Ok, kembali ke topik semula yaitu pantai Rebo. Pasir putih yang halus di sepanjang pantai menggelitik semangat kami untuk jogging sejenak sebelum menceburkan diri ke dalam birunya air laut. Berbekal informasi bahwa berlari di pasir pantai akan membakar kalori lebih banyak ketimbang berlari di tanah datar dan dengan obsesi "mau kurus" sibuklah kami berlari hilir mudik dari satu ujung pantai ke ujung pantai yang lain. Segarnya udara pantai (yang katanya bagus untuk penderita asma) dan hangatnya sinar matahari pagi membuat diri sungguh tidak rela kalau harus kembali ke ibukota. Tapi apa daya, pekerjaan menunggu dan tampaknya keinginan untuk sering-sering menikmati kesempatan jogging seperti ini haruslah dipendam untuk lain kesempatan.

Setelah sekitar 10 putaran, berlarilah kami ke arah batuan datar yang berakhir di sekitar 5-6 meter dari bibir pantai dan menceburkan diri. Wuiiiih.... airnya asin sekali dan mata serta merta menjadi perih. Bodohnya tidak ada seorangpun yang terpikir untuk membawa kacamata renang (padahal seandainya menggunakan kacamata mungkin kami bisa mengintip kehidupan di dasar laut tersebut).

Cape berenang, kami naik dan duduk di antara bebatuan yang membentang di sekitar lokasi pantai dan memulai sarapan pagi. Bekal sederhana yang kami bawa dari rumah terasa nikmat sekali, dengan baju basah kuyup yang melekat di badan, sama sekali tidak ada kekuatiran akan masuk angin (Po Ci Yen siap yo...... ;p). Setelah kenyang, kembali kami turun ke air dan berenang ke sana ke mari. Salah satu rekan malah sibuk mencoba menangkap ikan-ikan kecil yang ada di antara bebatuan karang, tapi malah kembali dengan ubur-ubur yang nyasar masuk ke dalam gayung yang ia gunakan.

ubur-ubur dalam gelas aqua

Beranjak siang, sinar matahari mulai terasa menyengat kulit. Maka kami memutuskan menyudahi petualangan kami pagi itu dan bergegas ke sumber air tawar terdekat untuk membilas diri (mandi ;p). Danau kecil yang masih dipenuhi rerumputan liar tersebut memberikan sensasi rasa sejuk alami, karena itu kami memutuskan untuk tidak menggunakan sabun cair yang sudah kami persiapkan dari rumah, "jangan mencemari lingkungan", seloroh salah satu rekan. Yah, walaupun kami bukan aktifis lingkungan, tapi setidaknya kami berusaha sebisa mungkin memberikan kontribusi untuk menjaga kelestarian lingkungan ini, supaya generasi berikutnya masih bisa menikmati keindahan yang kita nikmati saat ini. Kami juga sempat memikirkan, kalau nanti diberi kesempatan berikutnya untuk kembali ke sini, kami akan membawa karung untuk mengumpulkan sampah plastik bekas yang banyak berserakan di sepanjang pantai.

Dari Pantai Rebo, kami memilih jalan pulang dengan menyusuri garis pantai menuju kota Sungailiat dengan tujuan akhir ke Pantai Parai Tenggiri yang terletak di desa Sinar Baru,kecamatan Sungiliat. Merupakan satu-satunya pantai yang telah digarap secara serius sebagai suatu kawasan wisata terpadu, Pantai Parai Tenggiri ini sudah dilengkapi dengan Parai Beach Resort and Spa yang sudah berbintang 4 dan Parai Pool Villas Resort and Spa yang berbintang 5. Tempat ini juga telah dilengkapi dengan Martha Tilaar Salon and Day Spa, cocok sekali untuk relaksasi dan melepaskan diri dari segala kepenatan.

Resort ini juga dilengkapi dengan sarana watersport di mana para wisatawan bisa mencoba banana boat, parasailing, jetski, bahkan snorkelling (saya sendiri belum pernah snorkelling di perairan bangka, pengalaman snorkelling pertama saya malah di pulau Menjangan - Taman Nasional Bali Barat ;p ). Mereka juga menyediakan paket untuk outbound /teambuilding perusahaan.salah Akses menuju Parai Beach Resort cukup mudah, dari tengah kota Sungailiat sudah mulai terlihat rambu-rambu yang mengarahkan kita ke sana dan kalau kita seksama memperhatikan jalan, dijamin tidak akan tersesat. Info lebih lanjut dapat dilihat di http://www.eljohn.co.id/templete/index.php?parent1=1&id_divisi=8&menu=1 atau coba kunjungi www.bangka.go.id untuk mengetahui lebih jauh mengenai pulau Bangka

Dari Pantai Parai Tenggiri ini, kita juga bisa menyusuri pantai-pantai lain di sepanjang garis pantai yang sama (tapi dipisahkan oleh bebatuan granit raksasa) antara lain Pantai Matras dan Pantai Tanjung Kelayang.

Pantai Matras

Pantai Matras sendiri populer di kalangan masyarakat Bangka, karena garis pantai yang datar dan sumber air tawar yang mengalir deras ke arah pantai, menjadikan pantai ini lokasi yang sangat cocok untuk piknik dan berenang. Sayangnya, banyaknya kecelalakaan saat mandi di laut (dengan jumlah korban meninggal yang cukup tinggi) dan tidak adanya penjaga pantai yang bertugas di sepanjang pantai, membuat pantai ini mempunyai reputasi sebagai pantai yang cukup angker. Saat kami tiba di sana, matahari sedang bersinar dengan cerahnya, disertai semburat biru langit yang begitu menenangkan, kami singgah sejenak untuk duduk di antara pondok-pondok kecil yang sudah disediakan dinas pariwisata setempat bagi para pengunjung. Siang itu nampak cukup banyak para pengunjung, entah para tamu dari luar, penduduk setempat yang kebingungan menghabiskan waktunya, pelajar/karyawan yang bolos untuk ketemu dengan kekasih, atau ..... bisa pula makelar yang cari mangsa hehehehehehe.

Matahari sudah di atas kepala ketika kami memutuskan untuk segera kembali ke rumah dan berkemas-kemas untuk segera kembali ke ibukota. Tidak lupa tentunya singgah di toko-toko sepanjang pasar di kota Sungailiat untuk membeli oleh-oleh buat rekan-rekan di kantor yang semuanya begitu familiar dengan "kemplang dan kretek" sebagai oleh-oleh khas dari Bangka.

Mudik 4 hari, membawa sejuta kenangan tentang betapa indahnya pulau kelahiran saya, ke Bangka aku kan kembali ......

terakhir, boleh dong kita mejeng di sini:

cheers dari anak Bangka yang ada di rantau (sok puitis neh ....)

YL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar